CERITA DEWASA MENIKMATI DIPERKOSA PENARI JALANAN TUBUH BOHAI

CERITA DEWASA MENIKMATI DIPERKOSA PENARI JALANAN TUBUH BOHAI


CERITA DEWASA MENIKMATI DIPERKOSA PENARI JALANAN TUBUH BOHAI, Hasrat-Bispak13 Seluruhnya orang didalamnya perlu berusaha serta berkorban agar tak terdepak, dan tidak semuanya jalan yang dapat dilewati itu terang-benderang…Izinkan saya bercerita peristiwa hidup saya. Nama saya Darmini, tetapi orang tidak banyak yang mengetahui nama asli saya. Bapak dan Simbok panggil saya Denok, itu panggilan biasa buat anak wanita di daerah saya, tetapi berarti gak cuman itu. Denok  bermakna montok alias sintal, serta ternyata makna itu yang lebih dikenang beberapa orang di kehidupan saya di Ibu-kota. Waktu kecil saya dihabiskan di daerah, jauh dari Ibu-kota. Saya anak hanya satu Bapak dan Simbok, satu keluarga petani penggarap yang tidak berpunya. Mulai sejak kecil saya diajari menari oleh Simbok, sebab beliau sendiri waktu muda merupakan orang penari, dan kerap ditanggap kalaupun ada acara di daerah. Sayang, kehidupan kami yang damai di daerah berhenti di saat satu hari saya serta Simbok temukan Bapak menggantung diri. Rupanya Bapak punyai banyak hutang karena sebab hilang ingatan judi, dan beliau tak sanggup membayar hutangnya itu. Kami terang bersusah-hati sebab Bapak telah tak ada, namun juga kebingungan sebab beberapa waktu seusai Bapak disemayamkan, kami ditendang dari rumah karena rumah kami diambil alih biro judi yang memberikan hutang pada Bapak. Kami gak miliki tujuan, dan uang simpanan kami tidak berapa. Simbok pada akhirnya ngotot ajak saya berpindah ke Ibu-kota cari penghidupan.


"Denok, kita nggak dapat apapun kembali di sini, di kota kita dapat mencoba mencari uang, semoga di situ mendingan ketimbang di sini," kata Simbok.


Saya sekedar alumnus SMP, Simbok alumnus SD. Kami sama tidak sadar hidup di Ibu-kota demikian beratnya. Melamar pekerjaan ke sana-kemari, gak diterima sebab dirasa pengajaran kurang tinggi. Mencari kerja yang gak penting ijazah, lawan banyak. Pada akhirnya sehabis lumayan lama mengamati beberapa peluang yang ada, Simbok menetapkan untuk memakai keterampilan kami. Dengan modal kemeja dan perabotan yang kami membawa dari daerah, dan radio tape sisa dan kaset-kaset musik tradisionil yang kami membeli dari pasar loak dengan tersisa uang, mulai kami berdua jadi penari jalanan.


Waktu gadis-gadis seumur saya yang di kota sedang bersiap ujian akhir SMA atau meniti tahun mula kuliah, dan yang di dusun menanti dijodohkan oleh orangtuanya, saya memulai menjalani kehidupan anyar, menjual keterampilan seni tari bersama Simbok. Awalannya kami berkeliling-keliling Ibu-kota, cuman cari keramaian di mana kami dapat mendapat beberapa lembar rupiah untuk bertahan hidup. Kami biasa mulai pagi-pagi, mendalami jalanan Ibu-kota untuk cari beberapa orang yang ingin kami hibur dengan tarian kami. Rupanya gak enteng pula cari uang dengan semacam ini, paling-paling yang kami temukan cukup buat makan kami berdua, satu atau 2x di hari itu. Dan gak di semuanya tempat kami dapat mendapatkan pirsawan yang mau bayar, kadang kami justru ditendang atau dihardik. Sehabis cukuplah lama, kami bertemu tempat di mana kami dapat terus bisa pemirsa serta uang: satu pasar induk yang lumayan besar, serta lingkungan disekelilingnya. Kami lantas sewa satu kamar sewa murah di dekat Pasar. Beberapa orang di Pasar, yang dari kelompok menengah ke bawah, haus kesenangan murah yang dapat buat mereka ingat daerah semasing. Kedatangan kami dari sana selalu disongsong senyuman, tawa, serta helai-lembar uang yang kumal hasil perasan keringat mereka. Meskipun sering helai-lembar itu diserahkan ke kami oleh kurang santun umpamanya dengan diumpetkan ke kemeja kami. Apa saya serta Simbok memanglah memikat? Tidak tahu ya. Saya sendiri tak berasa elok. Selaku anak petani yang kerap main di luar sejak mulai kecil, kulit saya jadi cukup gelap terbakar matahari. Namun Simbok pula sejak dulu terus membimbing serta memperingatkan saya buat menjaga badan meski lewat langkah simple, jadi biarpun sawo masak, kulit saya selalu mulus dan tak jerawatan apa lagi bopeng-bopeng lho. WAJIB 4D


Oh iya, barusan kan saya udah narasi makna nama panggilan saya, Denok. Dipertimbangkan betul pun sich bila dikatakan saya montok. Gak tahu mengapa, meskipun rasanya dari kecil makanan saya bergizi ngepas, kok tetap juga tubuh saya bisa saja ya. Sebelumnya remaja saja tetek saya telah tumbuh, serta saat ini jadi subur gumebyur hingga saya terus khawatir dengan kemben saya tiap-tiap kali menari. Pantat saya  cepat karena sebab dibikin latihan olah badan dalam tarian. Ada yang katakan bahenol, saya sich matur nuwun saja bila ada yang menganggapnya demikian. Terheran-herannya, meski atas bawah besar, tengahnya tak turut besar, perut serta pinggang saya masih singset. Saya menganggapnya masih singset masalahnya kelihatannya kelak tubuh saya akan menjadi seperti tubuh Simbok, tengahnya mulai ikut-ikutan lebar. Nach, bila Simbok itu elok. Hingga usia begitu lantas beliau masih elok. cerpensex.com Ditambah lagi bila sudah gunakan sanggul dan dandan, wuihh. Semuanya orang nengok serta gak saksikan apapun kembali. Saya sendiri selalu terasa buruk lho kalaupun tampil bersama Simbok. Ah, namun sedunia cuman saya sendiri yang nganggap muka saya tidak baik. Kecuali Simbok, beberapa orang yang umum tonton kami menari kok seluruhnya ngomong saya elok. Saya berpikir, itu sich pinter-pinternya Simbok menghias saya saja. Waktu pertamanya didandani buat ngamen, saya protes, kok ribet sangat. Rambut perlu disasak, disanggul, disunggar, gunakan tusuk dan kembang. Muka perlu dibedaki tebal-tebal, sampai berbeda warna dengan tubuh. Kemungkinan tinggal tahi lalat di pipi saya saja yang gak ketutupan. Alis saya yang udah tebal dibuat jadi tebal. Bibir  diberikan gincu warna merah oke. Saya masa itu ngeluh,


"Kok udah seperti penganten saja, Mbok."


Simbok menjawab, "Yang bernama penari itu tidak bisa biasa saja, nduk. Harus kinclong, manglingi. Kita harus buat suka yang melihat."


Lama-kelamaan saya biasa pula pakai dandanan begitu, justru saya buat jadi guyonan sama Simbok.


"Mbok, saya wis tiap hari terbentuk penganten, sesaat jika nikah betulan harus seperti apakah diriasnya?" Dandan paras yang tebal jadi sisi seragam kerja saya, sama dengan kemben, kain batik, dan selendang. 


Tetapi benar-benar yang bernama nasib itu jalannya tidak ada yang ketahui. 2 bulan kami tinggal di dekat Pasar, malapetaka tiba kembali. Waktu sedang nyebrang jalan, Simbok ketabrak mobil. Cedera kritis. Saya kuatir, beberapa orang di kitaran beramai-ramai ngangkut Simbok ke rumah sakit. Namun Simbok gak terselamatkan. Simbok mati di rumah sakit sesudah 2 hari dua malam usaha ditolong dokter dari sana. Sebetulnya semenjak ketabrak pula Simbok telah tidak ada angan-angan, tetapi tidak tahu mengapa beliau lama sekali kematiannya. Sekaratnya sampai sepanjang hari. Hingga gak sampai hati saya memandangnya. Masa itu ada yang bisik-bisik, kemungkinan Simbok pasang susuk, maka itu kematiannya sulit. Orang kok sampai hati ya bicara begitu. Tetapi apa itu betul atau gak, saya tak ingin tahu, biarkan itu menjadi rahasia Simbok. Saya selanjutnya sendirian di Ibu-kota, seperginya Simbok. Ditambahkan lagi, uang habis buat mbayar rumah sakit dan penguburan, jadi perlu berutang kemanapun. Saya gak sanggup melaksanakan acara beberapa macam buat Simbok, cuma dapat doakan sendiri mudah-mudahan roh Simbok dapat tenang di alam sana dan berjumpa kembali dengan Bapak. Satu minggu lebih saya di sewa saja sebab terlampau bersedih. Kemungkinan tiap hari saya menangis, sendu ingat Simbok, pula kesepian. Selanjutnya saya memaksakan diri untuk keluar kembali, ngamen kembali, karena uang telah habis dan saya pula perlu lawan beberapa tukang tagih hutang yang tak mau tahu kesukaran saya . Maka, 1 minggu sehabis Simbok dikebumikan, saya kembali bersiap untuk keluar, menari. Didepan cermin saya tata rambut saya sendiri, saya pasang sanggul dan kembang, saya bedaki muka saya supaya tidak nampak beberapa bekas menangis, saya gunakan kembali kemben dan kain, saya sampirkan selendang di leher. Ealah, sesuai keluar kamar saya jadi bertemu dengan ibu yang punyai kontrak. Sang ibu gak pakai basa-basi langsung tagih tunggakan dua bulan. Saya tidak mempunyai uang, jadi saya cuman dapat omong maaf, serta sang ibu jadi ngancam secara lembut. Tidak apapun gak bayar, tuturnya, namun esok kamu keluar tempat saya. Haduh biyung, kok tidak habis-habis ya kendala untuk saya. Saya pengin usaha dahulu, kata saya, kelak bakal saya bayar. Hari itu saya pergi ngamen, usaha mencari uang buat hidup.


CERITA DEWASA MENIKMATI DIPERKOSA PENARI JALANAN TUBUH BOHAI


Naasnya, hari itu pasar lumayan sepi, dan setelah dua jam saya anyar bisa Rp5000 sehabis menari di pangkalan ojek. Saya gak dapat fokus, kepala banyak pemikiran, bagaimana tekniknya biar kelak kalaupun pulang sudah mempunyai cukup uang untuk bayar sewaan. Belum beberapa hutang yang lain. Saat siang, saya tengah jalan di barisan toko toko besar dari sisi Pasar. Dan di muka toko beras terbesar di Pasar, saya menyaksikan Juragan lagi mengalkulasi segepok uang. Beliau baru-baru ini terima banyak uang, ternyata ada orang yang habis mborong. Saya kala itu hanya tahu beliau sebagai ‘Juragan'. Beliau pemilik toko beras yang besar itu. Beliau telah tua, lebih tua dibanding Simbok, barangkali umurnya telah 50 atau 60 tahun. Kepalanya nyaris botak, rambutnya tipis beruban, kumis serta jenggotnya jarang. Tubuhnya besar serta perutnya gemuk. Sekali kedua kalinya saya dan Simbok pernah menari di muka tokonya, serta pegawai-pegawainya berikan kami uang namun beliau tak. Namun beliau pernah pinjamkan uang pada Simbok, serta Simbok sempat mengembalikannya. Saya beranikan diri hampiri Juragan. Ia sendirian di muka toko, sementara anak buahnya repot dalam serta berada di belakang. Tokonya lagi sepi, tidak ada konsumen.


"Juragan," pinta saya. "Anu… saya…"


Juragan menyaksikan saya dengan acuh. "Ada apakah, Denok?"


"…saya… saya…" Duh, saya gak kuat bilangnya. Tetapi saya mesti ngomong. "…saya bisa pinjam uang, Juragan? Uang saya telah habis untuk cost penguburan Simbok… saat ini saya perlu bayar sewaan dua bulan…"


"Hah?" Juragan menyaksikan saya dengan aneh, "Kamu butuh uang?"


"Tolong, Juragan," saya memohon kembali, "Saya telah ditagih, ini hari mesti ada, atau saya ditendang. Saya janji dapat balikkan secepat-cepatnya."


Eh, kok Juragan langsung kantongi segepok uang barusan ia hitung-hitung.


"Denok," kata beliau dengan dingin, "Saya ini pedagang, bukan tukang memberikan hutang. Kamu butuh uang? Kerja sana. Atau kamu berjualan saja." WAJIB 4D


"Saya saat ini  kembali kerja, Juragan," saya kesal namun tidak berani menunjukkan; kayaknya Juragan tak mau pinjamkan uang. "Cuman ngerinya saya tidak dapat cukup uang ini hari buat membayar sewaan. Jika berjualan, saya nggak punyai apapun, harus jual apa?"


Tetapi lalu tatapan Juragan kok beralih menjadi aneh… Beliau dekati saya dan memeluk saya. Tangannya yang besar itu menggenggam pundak saya.


"Siapa yang omong kamu gak miliki apapun?" bisiknya. "Tubuh kamu bagus, Denok. Saya ingin kok mbayar buat itu." Beliau tarik badan saya merapat ke tubuhnya, hingga pipi saya melekat dari sisi dadanya yang gendut.


"Ihh?!" saya terkejut dengar bisikan Juragan itu. Duh, inikah yang bernama bisikan iblis? "Tubuh… saya?" Bisikan Juragan selalu terngiang di kepala saya. Bergidik bulu-bulu kuduk saya memikirkan apa artinya itu.


"Kalaupun kamu ingin, Denok, saya lunasi bill kontrakanmu yang 2 bulan itu sekaligus mbayar untuk bulan kedepan," bisik Juragan kembali.


Duh, biyung, saya harus bagaimana? Saya perlu uang, namun apa perlu lewat cara seperti berikut? Tetapi bila gak, bagaimana kembali? Yang ada saya akan ditendang, nggelandang, dan…ujung-ujungnya sama juga. Saya tidak mempunyai alternatif lain…


"…mau, Juragan…" saya berbisik, lirih sekali hingga tidak terdengaran. Jika saja gak ketutupan bedak, kemungkinan telah tampak muka saya berganti merah seperti cabai.


Juragan tertawa, tubuhnya yang gemuk itu hingga sampai terbuncang-guncang. "Bagus, Denok. Marilah turut saya. Kamu ikutin saja kataku, kelak kubayar kamu, ya?"


Lantai atas toko beras itu rumah Juragan. Juragan bawa saya naik tangga dari sisi toko, masuk ke tempat tinggalnya. Juragan rupanya tinggal sendirian. Saya ingin tahu, apa Juragan gak punyai istri? Kami masuk rumah Juragan. Saya terus melihati lantai, tak berani membawa kepala, namun terkadang saya ngintip ke sana-kemari memandang kondisi.


Juragan ternyata tinggal sendirian di atas tokonya. Ada photo tua yang membuktikan Juragan dengan orang wanita—istrinya kah? Juragan merengkuh tangan saya masuk ke satu kamar. Ruangan tidurnya. Ia suruh saya duduk di dipan. Saya duduk, sekalian tundukkan kepala. Juragan berdiri di muka saya, memperhatikan sekujur badan saya. Ia sentuh dagu saya, sembari katakan,


"Denok, angkat kepalamu, tonton saya." Saya nurut. Barangkali ia tonton mata saya ketakutan 1/2 mati.


"Membuka kembenmu," tukasnya.


Ia simpan selembar uang Rp50.000 dari sisi saya. Saya melihat, memandang uang itu. Besar sekali untuk saya. Kebanyakan sepanjang hari menari saya tak pernah mendapat uang sejumlah itu. Namun saya masih sangsi. Juragan mendadak ingin ambil kembali uang itu.


"Bila tidak ingin ya telah," ucapnya dengan suara kurang suka.


Namun saya tahan uang itu dengan tangan saya, lalu saya ngangguk. Haduh, Simbok, Bapak, maafkan saya. Saya terlepas ikatan kemben di punggung saya, lalu perlahan-lahan saya urai belitan kain kemben merah yang membebat tubuh saya. Sesuai tinggal selembar belitan yang tutup tetek saya, saya jadi malu, dan saya tahan selembar itu dengan lengan saya. Juragan tersenyum memandang saya.


"Wahh…susu kamu besar, ya? Membuat orang hasrat ajah…" saya tonton Juragan nyengir lebar sesudah bicara itu. sumpah, baru kesempatan ini ada laki laki terbuka ngaku begitu.


Helai uang lima puluh ribu barusan diletakkan Juragan di sisi saya ia mengambil, lipat, lalu ia sisipkan ke… aduh! Ia sisipkan ke belahan dada saya!


"Itu untuk kamu, Denok," tuturnya. Duh, gak yakin rasanya. Awalnya saya dan Simbok perlu menari sepanjang hari, hingga sampai pegal-pegal, buat dapat duit kurang dari 5 puluh ribu. Tapi… saat ini saya mendapat duit sekitar itu … kok mudah sekali?


"Betulan buat saya…?" Masih tak yakin, saya bertanya kembali.


"Iya… asal kamu membuka segalanya," kata Juragan sekalian menyeringai. "Tubuh kamu bagus, Denok. Montok… bahenol…"


Duh, apa tujuannya itu? Apa Juragan senang dengan badan saya? Seumur-umur belum sempat ada orang yang omong itu ke saya… Jantung saya deg-degan dengarnya. Juragan menarik kain kemben yang ditahan tangan saya, serta kainnya melesat demikian saja tanpa saya tahan. Saya masih tutupi gunung kembar saya dengan ke-2  tangan. Aduh… malu sekali rasanya, telanjang di muka orang lain…Tapi saya bisa peroleh uang…


"Nach, Denok, saat ini membuka kainnya, ya?" saat ini Juragan memohon saya membuka  kain batik coklat yang saya gunakan.


Karena mungkin barusan saya malu dan pelan satu waktu membuka kemben, Juragan dekati saya dan menguak kain batik saya. Saya tiba-tiba mundur, namun tangan Juragan lalu menggenggam bahu saya.


"Gak boleh takut, Denok…" ujarnya.


Juragan pun menggenggam paha saya masih yang beberapa tertutup kain batik. Ia remas sedikit paha saya. Suara "Eihh" keluar mulut saya, malu sebab sentuhan Juragan. Tangannya terus nyelip ke bawah kain saya! Kulit tangan Juragan bersinggungan dengan kulit paha saya, dan saya kian deg-degan. Ia terus remas-remas paha saya. Saya nggigit bibir, takut keluar suara jenis-jenis dari mulut saya. Tangan satunya selalu nyibak kain saya, hingga sampai ke dekat pinggang… Duh, biyung, lagi diapakan saya ini? Kain saya tinggal nyangkut di pinggang saja, sementara ke-2  kaki, betis, dengkul, hingga paha saya udah dikeluarkan dari kemasnya, sedikit kembali kancut saya nampak!


"Rebah saja, Denok!" suruh Juragan.


Saya nuruti perintahnya, perlahan-lahan saya rebahkan tubuh atas saya. Ke-2  tangan saya terus nutupi sepasang tetek saya. Sanggul yang masih belum saya lepas (apa harusnya saya lepas pula?) ngganjal belakang kepala saya. Serta sekalian saya tiduran itu, tangan Juragan berlaga sangkutan paling akhir kain saya di pinggang. Aduhhh biyung. Ke-2  tangan saya buat pekerjaan: satu membentang di muka dada, satu turun ke bawah nutupi kancut saya.


Saya ragu, tetapi gak tahu mengapa, saya pula kok rasa nafsu saya bangun? Aduh? Kok berikut ini jadi? Juragan tiada henti memandang sekujur badan saya, sekalian beri pujian.


"Mari donk, gak perlu tertutupin," kata Juragan. "Tanganmu disingkirin donk? Denok, jika kamu ingin kupegang, kutambah dua puluh ribu, ya…


Ke-2  tangan saya digenggam Juragan, lalu perlahan-lahan dimasukkan dari sisi tubuh saya. Duh, bubar dech pertahanan saya. Saat ini susu saya gak ada yang tutupi. Saat ini kancut saya nampak.


"Euh… Juragan… pengin pegang?" kata saya kebingungan. "Ja… jadi saat ini tujuh puluh ribu?"




BERSAMBUNG....

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama